TASAWUF AKHLAKI KONSEP dan TOKOHNYA



TASAWUF AKHLAKI
KONSEP dan TOKOHNYA

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Akhlaq Tasawuf
yang dibina oleh Bapak  MOCH. CHOLID WARDI, M.H.I.



Disusun Oleh:
NOFAL EFENDI
MOH. ERFANI AI FAJRI AZ
ATA AMRULLAH
IFAN SUGIANTO

SONY ERLANGGA




PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2017

KATA PENGANTAR


       Segala puji bagi Allah yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan lancar dan tepat pada waktunya, semoga apa yang kita lakukan bisa mendapat balasan yang setimpal dari Allah.
       Maha suci Allah yang telah mempermudah segala urusan kita semua, tampa seizinnya kami tidak akan bisa mengerjakan segala sesuatu. Dan khususnya, kami (penyusun) bisa menyelesaikan Makalah ini dengan judul Tasawuf Akhlaki. Makalah ini dibuat sebagai tugas kelompok yang akan dikumpulkan dan di presentasikan.
       Keberhasilan makalah ini tidak lain juga di sertai referensi-referensi serta bantuan dari pihak-pihak yang bersangkutan. Penyusun makalah ini juga di maksudkan untuk menambah wawasan mahasiswa mengenai materi ini.
        penyusun menyadari makalah ini memiliki banyak kekurangan, karena itu sangat diharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca demi perbaikan dan sekaligus memperbesar manfaat makalah ini sebagai pembelajaran.



Pamekasan, 06 Oktober 2016


Penulis



DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL                                                                                      
KATA PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1  
A.      Latar Belakang................................................................................... 1  
B.       Rumusan Masalah............................................................................. 1    
C.       Tujuan Penulisan............................................................................... 1              
BAB II PEMBAHASAN............................................................................. 2 
A.      Sejarah Perkembangan Tasawuf Akhlaki.......................................... 2   
B.       Konsep Akhlak Tasawuf .................................................................. 5  
C.       Tokoh-Tokoh Akhlak Tasawuf Akhlaki............................................ 8
BAB III PENUTUP.................................................................................... 15
A.      Kesimpulan....................................................................................... 15
B.       Saran................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 16
LEMBARKERJA ...................................................................................... 17










BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
       Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua arah perkembangan. Ada tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku, ada pula tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang begitu rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih mendalam. Pada perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah pertama sering disebut sebagai tasawuf salafi, tasawuf ahlaqi, tasawuf sunni. Tasawuf jenis ini banyak di kembangkan oleh salaf. Adapun tasawuf yang berorientasikan ke arah kedua disebut sebagai tasawuf falsafi. Dan tasawuf jenis kedua banyak dikembangkan para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof, disamping sebagai sufi.
       Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa kaum sufi terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu mereka yang mengajarkan tasawuf yang berasal dari ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadist. Golongan ini adalah mereka yang mengajak dan menyeru ummat islam melalui gerakan tasawufnya berdasarkan panggilan dan anjuran dua dalil naqli diatas. Karena kedua dalil tersebut berisikan ajaran-ajaran akhlak maka tasawuf ini juga disebut dengan tasawuf akhlaki.
B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Sejarah Perkembangan Tasawuf Akhlaki?
2.    Bagaimana konsep dari Tasawuf Akhlaki?
3.    Siapa saja Tokoh-Tokoh Tasawuf Akhlaki?
C.      Tujuan
1.    Memenuhi tugas mata kuliah akhlak tasawuf.
2.    Untuk mengetahui konsep dari tasawuf akhlaki.
3.    Untuk mengetahui tokoh-tokoh tasawuf akhlaki.














BAB II
PEMBAHASAN

A.      Sejarah Perkembangan Taswuf Akhlaki
       Pada mulanya, tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman tentang makna institusi-institusi islam. Sejak zaman sahabat dan tabi’in, kecenderungan pandangan orang terhadap ajaran islam secara lebih analitis mulai muncul. Ajaran islam mereka dapat dipandang dari dua aspek, yaitu aspek lahiriyah (seremonial) dan aspek batiniyah (spiritual), atau aspek “luar” dan aspek “dalam”. Pendalaman dan pangalaman aspek “dalamnya” mulai terlihat sebagai hal yang lebih utama, tentunya tanpa mengabaikan aspek “luarnya” yang dimotifikasikan untuk membersihkan jiwa. Tanggapan perenungan mereka lebih berorientasi pada aspek “dalam”, yaitu cara hidup yang lebih mengutamakan rasa, lebih mementingkan keagungan tuhan dan bebas dari egoisme.
       Sejarah dan perkembangan tasawuf ahlaki mengalami beberapa fase berikut.
1.    Abad ke satu dan ke dua hijriah
       Disebut pula dengan fase asketisme (zuhud).  Sikap asketisme (zuhud) ini banyak di pandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Fase asketisme ini, terdapat individu-individu dari kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah. Mereka menjalankan konsepsi asketis dalam kehidupan, yaitu tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitaan dengan kehidupan diakhirat, yang menyebabkan mereka lebih memusatkan diri pada jalur kehidupan dan tingkah laku yang asketis. Tokoh yang sangat populer dari kalangan mereka adalah Hasan Al-Bashri (meninggal pada 110 H) dan Robi’ah Al-Adawiyah (meninggal pada 185 H). Kedua tokoh ini dijuluki sebagai zahid.[1]


2.    Abad ketiga Hijriah
       Sejak abad ketiga hijriah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengaan jiwa dan tingkah laku. Perkembangan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan upaya menegakkan moral di tengah kejadinya dekadensi moral yang berkembang ketika itu, sehingga di tangan mereka, tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan. Pembahasan mereka tentang moral, akhirnya mendorongnya untuk semakin mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan akhlak.
       Pada abad ketiga terlihat perkembangan tasaawuf yang pesat, ditandai dengan adanya segolongan ahli tasawuf yang mencoba menyelidiki inti ajaran tasawuf yang berkembang masa itu. Mereka membaginya menjadi tiga macam, yaitu:
a.         Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa, yaitu tasawuf yang berisi suatu metode yang lengkap tentang pengobatan jiwa, yang mengonsentrasikan kejiwaan manusia kepada khaliqnya, sehingga ketegangan kejiwaan akibat pengaruh keduniaan dapat teratasi dengan baik. Kenyataanya inti tasawuf ini dijadikan dasar teori oleh psikiater zaman sekarang dalam mengobati pasiennya.
b.        Tasawuf yang berintikan ilmu akhlak, yaitu di dalamnya terkandung petunjuk-petunjuk tentang cara berbuat baik serta cara menghindarkan keburukan, yang di lengkapi dengan riwayat dari kasus yang pernah di alami oleh para sahabat nabi.
c.         Tasawuf yang berintikan metafisika, yaitu di dalamnya terkandung ajaran yang melukiskan hakikat ilahi, yang merupakan satu-satunya yang ada dalam pengertian yang mutlak, serta melukiskan sifat-sifat Tuhan, yang menjadi alamat bagi orang-orang yang akan tajalli kepada-Nya.[2]
3.    Abad keempat hijriyah
       Abad ini di tandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat dibandingkan dengan pada abad ketiga hijriyah, karena usaha maksimal para ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran tasawufnya masing-masing. Akibatnya, kota baghdad yang hanya satu-satunya kota yang terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling besar sebelum masa itu, tersaingi oleh kota-kota besar lainnya.
       Perkembangan tasawuf di berbagai negeri dan kota tidak mengurangi perkembangan tasawuf di kota baghdad. Bahkan, penulisan kitab-kitab tasawuf di sana mulai bermunculan, misalnya kitab Qutubul Qultib fi Mu’amalatil Mahbub, yang diakarang oleh Abu Thalib Al-Makki (meninggal di Bahgdad tahun 386 H). Dalam pengajaran ilmu tasawuf di berbagai negeri dan kota, para ulama tersebut menggunakan sistem tarekat, sebagaimana yang dirintis oleh ulama pendaahulunya. Sistem tersebut berupa pengajaran dari seorang guru terhadap murid-muridnya yang bersifat teoritis serta bimbingan langsung mengenai cara pelaksanaannya yang disebut “suluk” dalam ajaran tasawuf.3
4.    Abat kelima hijriyah
       Pada abad ke lima ini muncullah imam Al-Ghazali, yang sepenuhnya hanya menerima tasawuf yang berdasar Al-Qur’an dan Assunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Disisi lain, ia melancarkan kritikal tajam terhadap para filosof, kaum Mu’tazilah dan Batiniyah. Al-Ghazalilah yang berhasil memancangkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring dengan aliranAhlussunnah Wal Jama’aah dan bertentengan dengan tasawuf Al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Bustami terutama mengenai soal karakter manusia. Tasawuf pada abad kelima hijriyah cenderung mengadakan pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya kelandasan Al-Qur’an dan assunnah. Al- Qusyairi dan Al-harawi dipandang sebagai tokoh sufi yang paling menonjol pada abad ini yang memberi bentuk tasaawuf sunni.4
5.    Abad keenam hijriyah
       Sejak abad keenam hijriyah, sebagai akibat pengaruh kepribadian Al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh tasawuf sunni semakin meluas keseluruh pelosok dunia islam. Keadaan ini memberi peluang bagi munculnya para tokoh sufi yang mengembangkan tarekat-tarekat dalam rangka mendidik murid-muridnya, seperti Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani (meninggal pada taahun 561 H).
       Al-Ghazali dipandang sebagai pembela taasawuf akhlaqi. Paandangan tasawufnya seiring dengan para sufi aliran pertama, para sufi abad ketiga dan keempat hijriah. Di samping itu, pandangan-pandangannya seiring dengan Al-Qusyairi dan Al-Harawi. Namun dari segi kepribadian , keluasan pengetahuan dan kedalaman tasawuf Al-Ghazali lebih besar di banding dengan semua tokoh di atas. Ia sering dikliaim sebagai seorang sufi terbesar dan terkuat pengaruhnya dalam khazanah tasawufan di dunia islam.5
B.       Konsep Akhlak Tasawuf
Dalam tasawuf akhlaqi, sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut.
1.      Takhalli
       Takhalli merupakan langkah pertama yang harus dijalani seorang sufi. Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari akhlak tercela. Salah satu tercela yang paling banyak menyebabkan timbulnya akhlak jelek lainnya adalah ketergantungan pada kelezatan duniawi. Hal ini dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu.6
2.      Tahalli
       Tahalli adalah upaya menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah jiwa dikosongkan dari akhlak-akhlak jelek. Pada tahap
6 Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf  (Jakarta: Amzah, 2015),  hlm. 212.


tahalli, kaum sufi berusaha agar setiap gerak perilaku selalu berjalan diatas ketentuan agama, baik kewajiban yang bersifat ‘luar’ maupun yang bersifat ‘dalam’. Aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal. Seperti shalat, puasa, dan haji. Sedangkan aspek ‘dalam’ seperti iman, ketaatan, dan kecintaan kepada Tuhan.
       Dengan demikian, tahap tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongan. Sebab, apabila satu kebiasaan telah dilepaskan, tetapi tidak segera ada penggantinya, kekosongan itu dapat menibulkan frustasi. Oleh karena itu, ketika kebiasaan lama ditinggalkan harus segera diisi dengan satu kebiasaan baru yang baik, jiwa manusia, sepeti kata Al-Ghazali, dapat diubah, dilatih, dikuasai, dan dibentuk sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri.
       Sikap mental dan perbuatan baik yang sangat penting disisikan ke dalam jiwa manusia dan dibiasakan dalam perbuatan dalam rangka pembentukan manusia paripurna, antara lain sebagai berikut.7
a.        Tobat
 Menurut Qamar Kalani dalam bukunya Fi At-Tashawwuf Al-Islam,    tobat adalah rasa penyesalan yang sungguh-sungguh dalam hati dengan disertai permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa
b.      Cemas dan Harap (Khauf dan Raja’)
       Sikap mental rasa cemas (khauf) dan harap (raja’) merupakan salah satu ajaran tasawuf yang selalu dikaitkan kepada hasan al bashri (wafat tahun 110 H) karena, secara historis memang dialah yang pertama kali memunculkan ajaran ini sebagai ciri kehidupan sufi. Menurut al bashri, yang di maksud dengan cemas atau takut adalah suatu perasaan yang timbul karena banyak berbuat salah dan sering lalai kepada Allah. karena sering menyadari kekurang sempurnaannya dalam mengabdi kepada Allah, timbullah rasa takut, khawatir kalau Allah akan murka kepadannya.
7  Solihin dan Anwar, Ilmu, hlm. 115-116.

c.       Zuhud
       Sesuai pandangan sufi, hawa nafsu duniawilah yang menjadi sumber kerusakan moral manusia. Sikap kecenderungan seseorang kepada hawa nafsu mengakibatkan keberutalan dalam mengajar kepuasan nafsunya. Dorongan jiwa yang ingin menikmati kehidupan duniawi akan menimbulkan kesenjangan antara manusia dengan Allah. Agar  terbebas dari godaan dan pengaruh hawa nafsunya, manusia harus bersikap hati-hati terhadap dunia. Ia harus zuhud terhadap dunia, yaitu meninggalkan kehidupan duniawi dan melepaskan diri dari pengaruh materi.
d.      Al-Faqr
        Istilah al-farq bermakna tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah di punyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki, sehingga tidak meminta sesuatu yang lain. Sikap mental farq merupakan benteng pertahanan yang kuat dalam menghadapi pengaruh kehidupan materi. Sebab, sikap mental ini akan menghindarkan sesorang dari keserakahan.
       Sikap farq selanjutnya akan memunculkan sikap wara’Wara’ menurut para sufi adalah sikap berhati hati dalam mengahadapi segala sesuatu yang kurang jelas masalahnya. Apabila bertemu dengan satu persoalan, baik yang bersifat materi maupun non materi yang tidak pasti hukumnya atau tidak jelas asal usulnya lebih baik menghindarkan atau meninggalkannya.8
e.       Ash-Shabru
       Salah satu mental yang fundamental bagi seorang sufi adalah sabar. Sabar diartikan sebagai suatu keadaan jiwa yang kokoh stabil, dan konsikuen dalam pendirian jiwanya tidak tergoyahkan pendiriannya tidak berubah bagaimanapun berat  tantangan yang dihadapi, pantang mundur dan tak kenal menyerah sikap sabar

dilandasi oleh anggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan kehendak (iradah) tuhan.
f.        Rida
       Sikap mental rida merupakan kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan sabar. Istilah ridamengandung pengertian menerima dengan lapang dada dan hati terbuka terhadap apa saja yang datang dari Allah, baik dalam menerima serta melaksanakan ketentuan-ketentuan agama maupun yang berkenaan dengan masalah nasib dirinya.
g.      Muraqabah
       Seorang calon sufi sejak awal sudah di ajarkan bahwa dirinya tidak pernah lepas dari pengawasan Allah. Seluruh aktivitas hidupnya ditujukan untuk berada sedekat mungkin dengan-Nya. Ia sadar bahwa Allah memandangnya. Kesadaran itu membawanya pada satu sikap mawas diri atau muraqabah.
3.      Tajalli
Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib.9 Agar hasil yang telah di peroleh jiwa ketika melakukan takhallidan takhalli tidak berkurang, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran dan rasa cinta dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
C.      Tokoh-Tokoh Akhlak Tasawuf Akhlaki
1.      Al-ghazali
       Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ta’us al-Thusi al-Syafi’i al-Ghazali. Ia di panggil al-Ghazali karena di lahirkan di Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H/1058 M.10 Ia lahir dari seorang penenun wol (ghazzal), sehingga ia dijuluki al-ghazali. Pendidikan yang dijalaninya berawal dari kota Thus, lalu ke Jurjan. Pada usia 20 tahun ia berguru pada al-Juwaini di Naisapur, mempelajari fikih dan teologi.
 

9  Amin, Ilmu,  hlm. 220.
10 Moh. Toriqquddin, Sekularitas Tasawuf (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 173.

       Dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarakan al-quran dan as-sunnah Nabi Muhammad SAW. Di tambah dengan doktrin Ahlu Assunnah wa al-jamaah. Dari paham tasawufnya, ia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang memengaruhi para filsuf islam, sekte islamiyah, aliran syi’ah,ikhwan ash-shafa, dan lain-lain. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak islam. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral.11
       Al-Ghazali menilai negative terhadap syathahat karena dianggapnya mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang memerhatikan amal lahiriyah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit di pahami, Allah. Dapat di saksikan. Kedua, syathahat merupakan hasil pemikiran yang kacau dan hasil imajinasi sendiri. Dengan demikian, ia menolak tasawuf semifisafat meskipiun ia mau memaafkan A-Hallaj dan Yazid Al-Busthami. Ungkapan –ungkapan yang ganjil itu telah menyebabkan orang-orang Nasrani salah dalam menilai Tuhannya, seakan-akan ia berada pada Al-Masih. Ajaran tasawuf Al-Ghazali yaitu:
a.      As-Sa’adah
       Menurut Al-Ghazali, keleztan dan kebahgiaan yang palig tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah). Di dalam kitabkimiya’ As-Sa’adah, Ia menjelaskan bahwa as-sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak, sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya. Nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah. Nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara yang merdu. Demikin juga seluruh anggota tubuh, masing-,asing mempunyai kenikmatan tersendiri.12
2.      Hasan Al-Bashri
       Nama lengkapnya Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar, adalah seorang zahid yang masyhur di kalangan tabiin. Ia dilahirkan pada tahun 21 H di Madinah pada tahun 21 H (632M), dan wafat pada hari Kamis bulan Rajab pada tanggal 10 tahun 110 H (728 M). Ia seorang zahid yang dapat bertemu dengan 70 sahabat yang turut menyaksikan peperangan Badar dari 300 sahabat lainnya.
       Ia sangat memberikan perhatian kepada persoalan akhlak, ilmu-ilmu kebatinan, dan penyucian hati di masjid Bashrah, Irak. Ia memulai pendidikan di Hijaz, dan berguru kepada ulama-ulama yang tinggal disana. Selanjutnya ia bersama orang tuanya pindah ke Bashrah, sebuah kota yang membawa kemasyhurannya sehingga menjadikannya mendapatkan nama Hasan al-Bashri.
       Hasan al-Bashri dikenal sebagai seorang zahid, yang tidak mencintai dunia sedikitpun. Di samping itu, ia dikenal sebagai seorang yang wara’, yaitu sikap yang sangat berhati-hati dalam mengamalkan ajaran agama Islam. Disamping itu dikenal sebagai seorang yang mempunyai keberanian dalam menyampaikan kebenaran.
       Hasan al-Bashri dikenal sebagai tokoh yang mengadakan gerakan moral untuk memprotes pola hidup khalifah Umayyah yaitu Yazid bin Muawiyah yang sangat bermewah-mewah, bergelimang dengan kesenangan duniawi, dan berprilaku sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahan. Kelebihan Hasan al-Bashri setidaknya diungkapkan oleh Abu Qatadah, yang menyatakan “Bergurulah kepada syaikh ini. Saya telah sendiri keistimewaannya. Tidak seorang tabiin yang menyerupai sahabat nabi selain dirinya”.13

        Lebih jauh lagi, Hamka mengemukakan sebagian ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai berikut:14
1.      Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa tentram yang menimbulkan perasaan takut.
2.      Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Akan tetapi, barang siapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambal dengan dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.
3.      Tafakkur membawa kita pada kebaikan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kiya untuk tidak mengulanginya lagi. Sesutu yang fana’ betapapun banyaknya tidak akan menyamai sesuatu yang baqa’ betapapun sedikitnya. Waspadalah terhadap negeri yang cepat datang dan pergi serta penuh tipuan.
4.      Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggal mati suaminya.
5.      Orang yang beriman akan senantiasa berdukacita pada pagi dan sore hari karena berada diantara dua perasaan takut, yaitu takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.
6.      Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, hari kiamat yang akan menagih janjinya.
7.      Banyak dukacita di dunia memperteguh semangat amal shaleh.
3.      Al-Muhasibi
       Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah Al-Harist bin As’ad Al-Bashri Al-Baghdadi Al-Muhasibi. Dia lahir di Bashrah pada tahun 165 H/781 M, dan meninggal pada tahun 243 H/857 M. Selagi masih kecil ia pindah ke Baghdad.
       Ia adalah seorang tokoh sufi yang banyak mengamati berbagai fenomena di masyarakat Muslim. Dalam pandangannya, seseorang akan mendapatkan keselamatan di akhirat dengan melakukan ketaatan dan ketaqwaan serta meneladani pola prilaku Nabi Muhammad SAW. Ia dikenal dengan ajaran ma’rifatnya. Berkaitan dengan ma’rifat, Al-Muhasibi menjelaskan bahwa untuk mencapainya pertama, seseorang harus menjalani ketaatan kepada Allah, yang hal itu merupakan ungkapan kecintaan kepada Allah. Dengan kecintaan hamba kepada Allah, maka hatinya akan tersinari dengan cahaya Allah. Kedua,hati yang tersinari itu akan mengakibatkan tersingkapnya ilmu dan dan hal-hal ghaib. Ketiga, yaitu sang sufi yang mengalamifana’ wa al-baqa’ dan pada tahap akhir, sang sufi mengalami ma’rifat.
       Konsep atau ajaran tasawufnya antara lain:15
a.      Makrifat
Al-Muhasibi berbicara pula tentang makrifat. Ia sangat berhati-hati dalam menjelaskan batasan-batasan agama, dan tidak sekali-kali mendalami pengertian batin agama yang dapat mengaburkan pengertian lainnya dan mengaburkan keraguan.
b.      Khauf dan Raja’
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ia terkesan mengaitkan kedua sifat itu dengan etika-etika keagamaan lainnya, yakni ketika disifati dengan dua sifat di atas, seseorang secara bersamaan disifati pula dengan sifat-sifat
lainnya. Pangkal wara’ menurutnya, adalah ketakwaan, pangkal
ketakwaan adalah introspeksi diri (Muhasabat an-nafs), pangkal introspeksi diri adalah khaufdan raja’, pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah, sedangkan pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan.
4.       Al-Qusyairi
       Nama lengkap al-Qusyairi adalah Abbul Karim bin Khawazim, lahir pada tahun 376 di Istiwa, di Naisafur yang merupakan pusat ilmu pengetahuan pada saat itu. Ia berguru kepada Abu ‘Ali al-Daqqak dalam ilmu tasawuf, sedangkan dalam ilmu fiqh, ia belajar kepada Abu Bakar Muhammad bin Abu Bakar al-Thusi.
Konsep atau ajaran tasawufnya antara lain:16
a.      Mengembalikan tasawuf ke landasan Ahlussunnah
       Al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin Ahlu Sunnah dan menolak terhadap para sufi syathahi, yang mengucapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan terjadinya perpaduan antara sifatsifat ketuhanan, khususnya sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat baharunya.
b.      Kesehatan Batin.
       Selain itu, Al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya, karena kegemaran mereka menggunakan pakaian orang-orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang sama bertentangan dengan pakaian mereka. Ia menekankan bahwa kesehatan batin, dengan berpegang teguh pada Al-quran dan As-sunnah lebih penting ketimbang pakaian lahiriyah.
c.       Penyimpangan Para Sufi
       Pada Abad kelima Hijriyah, para sufi banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan. Dan tasawuf pada masanya mulai menyimpang dari perkembangan yang pertama, baik dari segi akidah
atau dari segi-segi moral dan tingkah laku. Oleh karena itu, Al-Qusyairi menyatakan bahwa ia menulis risalahnya karena dorongan rasa sedih melihat apa-apa yang menimpa jalan tasawuf. Ia tidak bermaksud menjelek-jelekkan salah seorang dari kelompok tersebut dengan mendasarkan diri pada penyimpangan sebagian penyerunya risalahnya itu. Menurutnya, sekadar pengobat keluhan atau apa yang menimpa tasawuf pada masanya.
Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa pengembalian arah tasawuf menurut Al-Qusyairi harus dengan merujuknya pada doktrin Ahlussunnah wal Jamaa’ah, yang dalam hal ini ialah dengan mengikuti para sufi Sunni abad ke tiga dan keempat hijriyah yang sebagaimana diriwayatkan dalam Ar-Risalah.17






BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
       Pada dasarnya, perkembangan ilmu tasawuf ini, terjadi karena adanya perbedaan pendapat para sufi. Sehingga timbullah berbagai macam paham di dalam dunia kesufian. Paham-paham tersebut masing-masing memiliki tujuan yang berlainan, sehingga terjadi perbedaan yang mencolok antara paham yang satu dengan yang lain.
       Tasawuf diciptakan sebagai media untuk mencapai maqashid al-syar’i (tujuan-tujuan syara’). Karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya, yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
B.       Saran      
       Dalam tasawuf akhlaki seharusnya yang menjadi dasar dalam pedomannya untuk selalu berada di jalan Allah adalah meninggalkan dunia dalam artian tidak terpengaruh pada kehidupan yang ada di dunia. Kontek ajaran tasawuflah yang akan membawa seorang sufi dekat dengan Allah. Untuk menjadi seorang sufi tidaklah mudah.
       Amalan dan kelakuan seorang sufi sangatlah berbeda dengan manusia biasa yang juga menyeimbangkan kehidupan antara dunia dan akhirat. Dalam tasawuf akhlaki, zuhud merupakan kunci utama untuk mendekatkan diri dan di sayang penuh oleh Allah. Maka hindarkanlah ia untuk tetap mempertahankan dan tidak melakukan penyimpangan yang menjatuhkan dan menjauhkan dirinya sebagai seorang sufi.
DAFTAR PUSTAKA

Amin,  Samsul  Munir.   Ilmu  Tasawuf.  Jakarta:  Amzah,  2015.
Anwar,  Rosihun.  Akhlak  Tasawuf.  Bandung:  Pustaka  Setia,  2009.
Solihin,  M.  Dan  Rosihon  Anwar.  Ilmu  Tasawuf.  Bandung:  Pustaka  Setia,  2008.
Toriqqudin,  Moh.  Sekularitas  Tasawuf.  Malang:  UIN-Malang  Press,  2008.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TASAWUF FALSAFI : KONSEP DAN TOKOHNYA

TASAWWUF IRFANI KONSEP DAN TOKOHNYA

TASAWUF DI INDONESIA DAN TOKOHNYA MAKALAH