TASAWUF FALSAFI : KONSEP DAN TOKOHNYA
TASAWUF FALSAFI :
KONSEP DAN TOKOHNYA
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
akhlak tasawuf
Yang di ampu oleh Bapak MOCH. CHOLID
WARDI, M.HI
OLEH :
EDI SUBIANTO (09)
FIRGIAWAN ISTANTO (11)
ZAINUL AMIN (22)
SYAFRUL MAULIDI (20)
MUHAMMAD SAMHARI (17)
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2017
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur kami panjatkan
kehadirat Allah yang telah memberikan rahmat serta karunianya kepada kami
sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang alhamdulillah tepat pada
waktunya. Tanpa pertolongannya mungkin kami tidak akan sanggup menyelesaikan
dengan baik.
Dengan membuat tugas ini kami
diharapkan mampu untuk lebih mengenal tentang tasawuf falsafi mengenai konsep
dan tokohnya.
Dalam penyelesaian makalah ini,
kami banyak mengalami kesulitan, terutama disebabkan oleh kurangnya ilmu
pengetahuan yang menunjang. Namun, berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai
pihak, akhirnya karya ilmiyah ini dapat terselesaikan dengan cukup baik.
Penulisan makalah ini masih
banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik
dan saran yang bersifat positif, guna penulisan makalah yang lebih baik di masa yang akan datang.
Akhir kata, kami sampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini
dari awal sampai akhir. Semoga allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita.
Amiin.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Pamekasan, 29 September 2017
PENYUSUN
KELOMPOK 7
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..........................................................................................ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
A.
Latar Belakang
..................................................................................................1
B. Rumusan masalah ..............................................................................................1
C. Tujuan Pembahasan ...........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................2
A.
Pengertian dan perkembangan tasawuf falsafi .................................................2
B.
Tokoh-tokoh tasawuf falsafi dan
konsep ajarannya........................................4
BAB III PENUTUP...............................................................................................8
A.
Kesimpulan.......................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................9
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbicara
tentang tasawuf, maka yang ada adalah pembahasan yang berkaitan dengan
ketuhanan. Namun sebelum melanjutkan pembahasan perlu kita ketahui bahwa
tasawuf itu sendiri memiliki beberapa aliran, seperti tasawuf akhlaqi, tasawuf
sunni dan tasawuf falsafi. Ada pula yang membagi tasawuf kedalam tasawuf amali,
tasawuf falsafi dan tasawuf ilmi.
Berbagai macam
ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya berangkat dari tasawuf
falsafi, maka kita tidak akan lepas dari ide dasarnya yaitu pantheisme, dan pantheisme itu sendiri berasal dari kata yunani, yaitu “pan” yang berarti semua dan “theos” yang berarti tuhan. Jadi pantheisme adalah paham yang menganggap
tuhan adalah immanen “ada didalam”
mahluk-mahluk dengan kata lain tuhan dan alam adalah sama.
Kaum sufi
falsafi menganggap bahwasanya tiada sesuatupun yang wujud kecuali Allah,
sehingga manusia dan alam semesta, semuanya adalah Allah. Mereka tidak
menganggap bahwasanya Allah itu zat yang esa, yang bersemayam di atas arsy.
Dalam tasawuf falsafi, tentang bersatunya tuhan dengan mahluknya, setidaknya
terdapat beberapa tema yang telah masyhur yaitu: hulul, wahdad al-wujud dan ijtihad.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian
tasawuf falsafi?
2. Siapa
tokoh-tokoh tasawuf falsafi?
3. Bagaimana
konsep ajaran para tokoh tasawuf falsafi.
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian tasawuf falsafi
2. Untuk mengetahui siapa tokoh-tokoh tasawuf falsafi
3. Untuk mengetahui ajaran tokoh-tokoh tasawuf falsafi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Perkembangan Tasawuf falsafi
Tasawuf falsafi
adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi
rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi
menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi
tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah memengaruhi
para tokohnya.[1][1]
Tasawuf falsafi
secara sederhana dapat di definisikan sebagai kajian dan jalan esoteris dalam
Islam untuk mengembangkan kesucian batin yang kaya dengan pandangan-pandangan
filosofis. Keberadaan tasawuf bercorak
falsafi ini pada satu sisi telah menarik perhatian para ulama yang pada awalnya
kurang senang dengan kehadiran filsafat dalam khazanah Islam. Sementara bagi
para ulama yang menyenangi kajian-kajian filsafat dan sekaligus menguasainya,
tasawuf falsafi bagaikan sungai yang airnya demikian bening dan begitu menggoda
untuk direnangi.[2][2]
Menurut
at-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dalam khazanah Islam sejak abad
keenam Hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal setelah seabad kemudian.
Sejak saat itu, tasawuf jenis ini terus hidup dan berkembang, terutama
dikalangan para sufi yang juga filsuf, sampai menjelang akhir-akhir ini. Adanya
pemaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi ini dengan
sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf bercampur dengan sejumlah ajaran
filsafat di luar Islam, seperti dari Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani.
Akan tetapi, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Sebab,
meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan
beragam, seiring dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu, para
tokohnya tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama
apabila dikaitkan dengan kedudukannya sebagai umat Islam. Sikap ini dapat
menjelaskan kepada kita kegigihan para tokoh tasawuf jenis ini dalam
mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar Islam ke dalam
tasawuf mereka, serta menggunakan terminologi-terminologi filsafat, tetapi
menyesuaikan maknanya dengan ajaran tasawuf yang mereka anut.[3][3]
Perbedaan ajaran tasawuf sunni
dengan tasawuf falsafi adalah sebagai berikut:
1.
Tasawuf sunni
bersumber dari keterangan-keterangan yang termaktub dalam al-Qur’an dan
al-Hadits. Ajaran tasawuf ini mengajarkan umat Islam untuk memiliki akhlak yang
telah diajarkan dalam al-Qur’an dan dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Sedangkan
ajaran tasawuf falsafi berasal dari pemikiran filsafat yang berkembang baik
sebelum maupun setelah Islam. Sedangkan pada tasawuf falsafi mengajarkan
ajaran-ajaran yang merupakan perpaduan antara tasawuf dengan filsafat. Ajaran
tasawuf falsafi misalnya al-Baqa’ dan al-Fana’ adalah ajaran Abu Yazid
al-Bisthami yang mengajarkan bersatunya antara zat makhluk dengan tuhannya.
Ajaran ini dipengaruhi oleh filsafat Plotinus.
2.
Ajaran Tasawuf
sunni berisi ajaran yang tidak menyimpang dari al-Qur’an dan al-Hadits. Semua
ajarannya sesuai dengan kedua nash tersebut, sedangkan ajaran tasawuf falsafi
mempunyai kecenderungan menyimpang dari keterangan yang terdapat dalam kedua
sumber ajaran Islam tersebut. Kaum sufi mengeluarkan kata-kata yang dikenal
dengan syahadat, yaitu perkataan aneh kaum sufi yang diucapkan dalam keadaan
tidak sadar. Sekedar contoh syahadat adalah perkataan Abu Yazid al-Bisthami
yang mengeluarkan “Aku Adalah Allah, tidak Ada Tuhan Selain Aku”.
3.
Tasawuf sunni
mengajarkan adanya “ketidaksamaan” antara makhluk dengan Allah, ajaran tasawuf
sunni menekankan kepada adanya ketidak-satuan Allah dengan ciptaannya. Ketika
seorang sufi mencapai derajat yang tertinggi ia hanya akan mencapai derajat
musyahadah dan mukasyafah, yaitu ajaran yang menegaskan adanya kemampuan kaum
sufi untuk menyaksikan kekuasaan Allah dengan terbukanya tabir antara dia
dengan allah sementara itu tasawuf falsafi mengajarkan adanya “kesatuan” Allah
dengan mahluknya dengan ajaran Ittihad dan al-Hulul.
4.
Memperhatikan
keseimbangan antara hakikat dengan syariat. Karena ajaran tasawuf sunni
berdasarkan ajaran yang termaktub dalam al-Quran dan al-Hadits. Mereka selalu
menekankan akan pengamalan ajaran-ajaran tasawuf mereka dengan ajaran syariat
yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW. Fenomena ini setidaknya dikemukakan
oleh Imam Malik: “Barang siapa berilmu fiqh tapi tidak bertasawuf, maka sungguh
ia telah fasik dan barang siapa yang bertasawuf tapi tidak berilmu fiqh maka
sungguh ia zindiq, dan barang siapa berilmu fiqh dan bertasawuf, maka sungguh
ia adalah yang tepat”. Sedangkan tasawuf falsafi mengenal apa yang disebut “nihilisme syari’at”, yaitu suatu bentuk ajaran yang menegaskan syari’at
sebagai bentuk penolakan terhadap “hakikat” dan keberadaan benda-benda.
Keyakinan ini mengajarkan bahwa syari’at hanya berlaku kepada seseorang yang
berkeyakinan bahwa dirinya “berbeda” dari tuhannya, sehingga bagi mereka yang
telaah melepaskan dari keyakinaan itu, tak perlu melaksanakan ajaran syari’at.[4][4]
B. Tokoh-tokoh Tasawuf Falsafi dan Konsep Ajarannya
Diantara
tokoh-tokoh tasawuf falsafi adalah Ibnu Arabi, al-Jili, Ibnu Sab’in, dan Ibnu
Masarrah.
1. Ibnu Arabi
a.biografi
Ibnu Arabi
Nama lengkap
Ibnu Arabi adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin
Abdullah
ath-Tha’i Al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara,
Spanyol, tahun
560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuan.
Namanya biasa
disebut tanpa “al” untuk membedakan dengan Abu Bakar
Ibnu al-Arabi,
seorang qadhi dari Sevilla yang wafat pada tahun 543 H. Di
Sevilla
(Spanyol), ia mempelajari al-Qur’an, al-Hadits, serta fiqh pada
sejumlah murid
seorang faqih Andalusia terkenal, yaitu Ibnu Hazm
azh-Zhahiri.
Setelah berusia
30 tahun, ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia
dan kawasan
Islam bagian barat. Diantara deretan guru-gurunya, tercatat
nama-nama,
seperti Abu Madyanal-Ghautsat-Talimsari dan Yasmin
Musyaniyah (seorang
wali dari kalangan wanita). Keduanya banyak
memengaruhi
ajaran Ibnu Arabi. Dikabarkan, ia pun pernah berjumpa dengan
Ibnu Rusyd,
filsuf muslim dan tabib istana dinasti berbar dari Alomohad, di
Kordova. Ia pun dikabarkan mengunjungi al-Mariyyah yang menjadi pusat
madrasah Ibnu
Masarrah, seorang sufi falsafi yang cukup berpengaruh dan
memperoleh
banyak pengaruh di Andalusia.
b.Ajaran-ajaran Tasawufnya
Ajaran sentral
Ibnu Arabi adalah tentang wahdad al-wujud (kesatuan wujud).
Meskipun
demikian, istilah wahdad al-wujud yang dipakai untuk menyebut
ajaran
sentralnya, tidaklah berasal darinya, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyyah,
tokoh yang
paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya
tersebut, atau
setidak-tidaknya tokoh itulah yang telah berjasa dalam
mempopulerkannya
ke tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya negatif.
Di samping itu,
meskipun semua orang sepakat menggunakan istilah wahdad
al-wujud untuk menyebut ajaran sentral Ibnu
Arabi, mereka berbeda pendapat
dalam
menformulasikan pengertian wahdad al-wujud.
Menurut Ibnu
Taimiyyah, wahdad al-wujud adalah penyamaan tuhan dan
alam. Menurut
penjelasannya, orang-orang yang mempunyai paham wahdad
al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib al
wujud yang dimiliki oleh khaliq adalah juga mumkin al-wujud yang
dimiliki
oleh mahluk.
Selain itu, orang-orang yang mempunyai paham wahdad
al-wujud juga mengatakan bahwa wujud alam
sama dengan wujud tuhan,
2. Abdul Karim Al-Jili
a.Riwaya Hidup
Nama lengkapnya
adalah Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili. Ia lahir pada tahun
1365 M di Jilan
(Gilan), sebuah provinsi di sebelah selatan Kasfia dan wafat
pada tahun 1417
M. Nama al-Jili diambil dari tempat kelahiranya di Gilan. Ia
adalah seorang
sufi yang terkenal dari Baghdad. Riwayat hidupnya tidak
banyak
diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber mengatakan
bahwa ia pernah
melakukan perjalanan ke India tahun 1387 M. Kemudian
belajar tasawuf
dibawah bimbingan Abdul Qadir al-Jailani, seorang pendiri
dan pemimpin
Tarekat Qadiriyah yang sangat terkenal. Disamping itu,
berguru pula
pada Syekh Syarafddin Isma’il bin Ibrahim al-Jabarti di Zabith
b.Ajaran-ajaran Tasawufnya
Ajaran tasawuf
al-Jili yang terpenting adalah paham insan kamil (manusia
sempurna).
Menurut al-Jili, insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan,
seperti
disebutkan dalam hadits yang artinya:
“Allah
menciptakan Adam dalam bentuk yang Maharahman”
Hadits lain menyebutkan
yang artinya:
“Allah
menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya”
Sebagaimana
diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat
seperti hidup, pandai,
mampu
berkehendak, mendengar, dan sebagainya. Manusia (Adam) pun
memiliki
sifat-sifat seperti itu. Proses-proses yang terjadi setelah ini ada
setelah Tuhan
menciptakan substansi, huwiyah Tuhan dihadapkan dengan
huwiyah Adam, aniyah-Nya disandingkan dengan aniyah Adam, dan Dzat
Nya dihadapkan
pada Dzat Adam, dan akhirnya Adam berhadapan dengan
Tuhan dalam
segala hakikat-Nya. Melalui konsep ini, kita memahami bahwa
Adam dilihat
dari sisi penciptaannya merupakan salah seorang insan kamil
dengan segala
kesempurnaannya. Sebab, pada dirinya terdapat sifat dan nama
ilahiah.
3. Ibnu Sab’in
a.Riwayat Hidup
Nama lengkap
Ibnu Sab’in adalah Abdul Haqq ibn Ibrahim Muhammad ibn
Nashr, seorang
sufi dan juga filsuf dari Andalusia. Dia terenal di Eropa karena
jawaban-jawabannya
atas pernyataan Frederik II, penguasa Sicilia. Dia
dipanggil Ibnu
Sab’in dan diberi gelar Quthbuddin, tetapi kadang-kadang, ia
dikenal pula
dengan Abu Muhammad. Dia dilahirkan tahun 614 H (1217-
Ibnu Sab’in
tumbuh dewasa dalam keluarga bangsawan. Ayahnya adalah
penguasa kota
kelahirannya. begitu juga, dengan nenek moyangnya, yang juga
dari kalangan
para penguasa. Menurut sebagian penulis biografinya, Ibnu
Sab’in hidup
dalam suasana penuh kemuliaan dan kecukupan. Kemudian, dia
menjauhi
kesenangan hidup, kemewahan, dan kepemimpinan duniawi, dan
seterusnya
hidup sebagai asketis ataupun sufi yang banyak mempunyai murid.
b.Ajaran-ajaran Tasawufnya
Ibnu Sab’in
adalah seorang pengasas sebuah paham dalam kalangan tasawuf
filosofis, yang
dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan esensial
pahamnya sederhana
saja, yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata.
Adapun wujud
lainnya hanyalah wujud yang satu itu sendiri. Jelasnya, wujud
wujud yang lain
itu hakikatnya sama sekali tidak lebih dari wujud yang satu.
Dengan
demikian, wujud dalam kenyataannya hanya satu persoalan yang
tetap.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tasawuf falsafi
secara sederhana dapat di definisikan sebagai kajian dan jalan esoteris dalam
islam untuk mengembangkan kesucian batin yang kaya dengan pandangan-pandangan
filosofis. Keberadaan tasawuf bercorak
falsafi ini pada satu sisi telah menarik perhatian para ulama yang pada awalnya
kurang senang dengan kehadiran filsafat dalam khazanah Islam. Sementara bagi
para ulama yang menyenangi kajian-kajian filsafat dan sekaligus menguasainya,
tasawuf falsafi bagaikan sungai yang airnya demikian bening dan begitu menggoda
untuk direnangi.
Seorang sufi
yang di anggap sebagai perintis tasawuf falsafi adalah Ibn Masarrah (w.319 atau
931) yang hidup di andalusia. Sekaligus dia dapat di anggap sebagai filosof
sufi pertama dalam dunia Islam.
Tokoh kedua
yang berpengaruh besar dalam dunia tasawuf falsafi adalah Suhrawardi al-Maqtul,
sufi yang di bunuh di Aleppo pada tahun 587 atau 1191, karena pandangannya yang
telah keluar dari Islam menurut ulama fuqaha. Suhrawardi juga seorang penganut
paham emanasinya Ibnu Sina.
Tasawuf falsafi
di nusantara di pelopori oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, dua
tokoh sufi yang datang dari pulau Andalas (Sumatra) pada abad ke 17 M.
DAFTAR PUSTAKA
[2][2]Mohammad Muchlis
Solihin, Akhlak & Tasawuf Dalam
Wacana Kontemporer Upaya Sang Sufi Menuju Allah (Surabaya: Pena Salsabila,
2014), hlm. 131.
Komentar
Posting Komentar